Wednesday, 1 March 2017

Sejarah Lonceng Cakra Donya Aceh yang Membuat Gentar Para Musuh

Aceh sebagai sebuah bangsa yang sangat terbuka bagi pendatang, sudah dibuktikan sejak ratusan tahun silam. Lonceng Cakra Donya yang saat ini tersimpan baik di Museum Aceh, menjadi ingatan bahwa Aceh sebagai sebuah bangsa yang berperadaban dan telah menjalin persahabatan dengan Tiongkok sejak abad ke-15 silam.

Laksamana Cheng Ho telah mengunjungi kepulauan di Indonesia selama tujuh kali. Ketika ke Samudera Pasai pada 1414 Masehi, pada muhibah keempatnya, dia memberi lonceng raksasa "Cakradonya" sebagai hadiah Kaisar Yongle, penguasa Tiongkok, kepada Sultan Samudra Pasai.



Sejarah
Cakra Donya adalah lonceng yang berupa mahkota besi berbentuk stupa buatan China pada tahun 1409 M, dengan tinggi 125 cm dan lebar 75 cm. Cakra berarti poros kereta, lambang-lambang Wishnu, cakrawala atau matahari. Sedangkan Donya berarti dunia. Pada bagian luar Cakra Donya terdapat hiasan dari simbol-simbol aksara China dan Arab. Aksara China bertuliskan Sing Fang Niat Tong Juut Yat kat Tjo, sedangkan aksara Arab tidak dapat dibaca lagi karena telah aus. 

        
Lonceng ini dikenal sebagai bagian dari jejak sejarah kedatangan warga Tiongkok ke Nusantara. Lonceng ini merupakan hadiah dari Kaisar Yongle penguasa Tiongkok kepada Kerajaan Samudera Pasai. Lonceng dibawa ke Aceh oleh Laksamana Cheng Ho sekira 1414 M, sebagai simbol persahabatan kedua negara.
               
Pasai kala itu dikenal sebagai negeri yang makmur dan terbuka. Banyak pedagang-pedagang dari Timur Tengah dan Gujarat India datang untuk berbisnis dan menyebarkan Islam. Pasai juga mengekspor rempah-rempah ke berbagai Negara, salah satunya Tiongkok.
           
Kerajaan Pasai kemudian berhasil ditakluk Kerajaan Aceh Darussalam pimpinan Sultan Ali Mughayatsyah pada 1542 M. Lonceng ini disita dan diboyong ke Koetaradja (Banda Aceh sekarang), pusat Kerajaan Aceh Darussalam.
            
Lonceng ini sempat digunakan dalam Kapal Perang Kesultanan Aceh masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Kapal itu bernama Cakra Donya, mampu menampung 800 prajurit. Cakra Donya ditempatkan bagian buritan depan kapal.
          
Dalam Kapal Cakra Donya, menurut riwayat, ada tiga lonceng; lonceng di depan kapal bernama Akidato Umoe (Berita Kejadian), di tengah ada lonceng Khasiru Khairan (Berita Balik) dan di ekor kapal terdapat lonceng Tulak Mara (Penolak Bencana).
            
Lonceng-lonceng itu digunakan sebagai pemberi aba-aba dalam perang. Portugis sering kesulitan menaklukkan pasukan Aceh. Karena kagum dengan kekuatan armada perang Aceh, Portugis menyebut Kapal Cakra Donya sebagai Espanto del Mundo artinya ‘Teror Dunia’.
            
Setelah tak digunakan di kapal, lonceng Cakra Donya sempat digantung di depan Masjid Raya Baiturrahman yang saat itu masuk dalam area Istana Sultan Aceh. Lonceng ini sering dibunyikan ketika penghuni istana harus berkumpul untuk mendengar maklumat sultan. Pada 1915 M, dari Masjid Raya, lonceng bersejarah ini kemudian dipindah ke Museum Aceh dan bertahan hingga sekarang sebagai saksi bisu heroisme sejarah.



Baca Selanjutnya: Gunongan : Bukti Kejayaan Aceh Pada Masanya


Share:

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Kunjungi Profil Lengkap Saya