Thursday 6 October 2016

Tradisi Meugang di Aceh


Sejarah


            Indonesia mempunyai suku, bahasa, serta budaya yang beragam. Dari wilayah indonesia timur hingga ke barat serta utara sampai ke selatan mempunyai suku, bahasa, dan budaya yang berbeda-beda, jadi terkumpul lah berbagai macam suku, berbagai macam bahasa dan begitu pula dengan budaya itulah yang membuat negara indonesia kaya, bukan hanya karena sumber daya alamnya yang melimpah akan tetapi kaya akan juga budayanya.
            Diwilayah ujung utara pulau sumatera indonesia yaitu Nanggroe Aceh Darussalam ada suatu tradisi yang mulai dilakukan dari zaman kerajaan aceh sampai dengan sekarang yang disebut dengan sebutan Meugang atau Makmeugang.
            Meugang yaitu tradisi dimana menyembelih hewan qurban sapi dan kambing yang dilakukan tiga kali dalam setahun yakni bulan ramadhan, hari raya idul fitri dan hari raya idul adha. Selain sapi dan kambing, masyarakat aceh juga menyembelih ayam dan bebek pada hari meugang, ini dilakukan bagi masyarakat yang kurang suka akan daging dan harga daging yang terlalu mahal. Di desa, meugang dilakukan satu hari sebelum bulan ramadhan dan hari raya, sedangkan dikota dua hari sebelum bulan ramadhan dan hari raya.
            Tradisi meugang di Aceh sudah dilaksanakan sejak ratusan tahun yang lalu dimulai sejak masa Kerajaan Aceh. Kala itu (1607-1636 M), Sultan Iskandar Muda memotong hewan dalam jumlah banyak dan dagingnya dibagikan secara gratis kepada seluruh rakyatnya. Hal ini dilakukan oleh beliau sebagai rasa syukur atas kemakmuran rakyatnya dan sebagai rasa terimakasih kepada rakyatnya. Setelah Kerajaan Aceh ditaklukkan oeh Belanda pada tahun 1873, tradisi ini tidak lagi dilaksanakan oleh Raja. Namun, karena hal ini telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Aceh, maka meugang tetap dilaksanakan hingga saat ini dalam kondisi apapun(sumber :https://id.wikipedia.org/wiki/Meugang).

Cara Mendapatkan Daging


            Di Aceh, saya misalkan di pasar Padang Tiji, Kab. Pidie pada hari meugang kondisi pasar ramai oleh pengunjung dimulai dari subuh sampai dengan siang. Daging yang dijual berupa daging kerbau, sapi dan kambing. Kita bisa melihat daging yang sudah dikuliti bertumpukan diatas meja dan juga digantung-gantung. Sepanjang jalan berderet orang mejual daging dan menawarkan kepada para pembeli agar mau membelikan dagangannya. Para pembeli pun sibuk memilih daging-daging yang bagus untuk dibeli. Komunikasi antara pedagang dan pembeli tak ada habisnya, kita bisa dengar keriyuhan pasar pada hari meugang dimana orang bersuara tak ada yang diam demi mendapatkan setumpuk daging yang berkualitas yang akan dibawa pulang kerumah untuk keluarganya.
           Sekarang kita tahu harga daging sangat mahal berkisar antara Rp 170.000/kg – Rp 180.000/kg, tapi apalah dikata walaupun harganya tidak sesuai dengan isi kantong masyarakat Aceh tetap rela berdesak-desakan dipasar demi mendapatkan setumpuk daging untuk keluarganya. Karena pada hari meugang tersebut masakan daging dirumah kewajiban bagi masyarakat Aceh.
         Selain daging di beli ada juga hasil qurban dari orang-orang mampu yang disembelih dan khusus dibagikan untuk orang-orang fakir miskin. Inilah yang membantu orang-orang yang tidak sanggup membeli daging, dengan bahagia dapat juga merayakan hari meugang seperti yang dilakukan orang lain.
           
Memasak daging
Daging yang telah dibeli dimasak dengan berbagai macam masakan, seperti rendang. Makanan khas indonesia ini telah diakui dunia sebagai makanan terenak mengalahkan makanan lainnya. Rendang sendiri adalah masakan daging bercitarasa pedas dengan campuran bumbu dan rempah-rempah. Masakan ini dihasilkan dari proses memasak yang dipanaskan berulang-ulang dengan santan kelapa. Proses memasaknya memakan waktu berjam-jam (biasanya sekitar empat jam). Selain rendang masih banyak masakan lainnya dari daging yang telah dibeli. Namun daging-daging yang telah didapat tidak semua dimasak sekaligus, ada namanya pengawetan daging yaitu dendeng. Masyarakat Aceh menyebutnya dengan sie tho (daging kering). Pengawetan ini dilakukan dengan cara mentaburi garam dan dijemur yang menghasilkan daging berasa asin.
Setelah daging meugang selesai dimasak, maka anggota keluarga berkumpul dan menyantap hasil masakan berbagai macam olahan daging. Tentu saja hari meugang tersebut adalah hari berbahagia bersama keluarga dan kerabat, karena disuguhkan masakan istimewa.

Nilai Religius      
Meskipun daerah Aceh sangat kental dengan nilai religiusnya, tradisi meugang bukanlah murni ajaran Islam, akan tetapi ia merupakan sebuah aplikasi pengamalan Islam dalam bentuk budaya. Melaksanakan tradisi meugang bukanlah sebuah kewajiban, akan tetapi merupakan sebuah keharusan bagi orang Aceh yang mesti dilaksanakan. Untuk meyakinkan bahwa tradisi meugang ini adalah sebuah tafsir agama, kita dapat melihat beberapa hal yang melatar belakangi adanya tradisi meugang, yaitu (1) Meugang dilaksanakan menyambut bulan puasa, hari raya idul fitri dan hari raya idul adha. (2) Meugang dimanfaatkan bagi orang dermawan untuk bersedekah. (3) Meugang menjadi bentuk silaturrahmi antara keluarga dan kerabat(sumber :http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2294/tradisi-meugang).
Tradisi meugang di Aceh salah satu tradisi yang unik yang telah dilakukan sejak lama. Meugang sendiri membawa dampak positif bagi masyarakat sekitar Aceh. Berbagai keadaan berubah menjadi lebih baik di hari meugang tersebut. Baik itu kebersamaan bersama keluarga, bersedekah kepada yang membutuhkan dan masih banyak keadaan yang membahagiakan. Kita bisa melihat pada hari meugang suasana begitu ramai serta kita pun dapat merasakan ikut dalam keramaian tersebut. Dihari-hari lain kita tidak pernah merasakan bagaimana mencicipi masakan daging bersama-sama dengan keluarga tapi dihari meugang kita bisa mendapatkan momen tersebut. Dan bagaimana kita bisa melihat para fakir miskin dapat merasakan setumpuk daging dari tetangga maupun kerabatnya yang di sedekahkan untuknya agar mereka satu keluarga juga bisa merasakan suasana meugang bukan hanya mencium aroma masakan dari tetangga saja tetapi ikut memasak dan makan bersama keluarga seperti keluarga umumnya di Aceh.
Dengan adanya tradisi meugang ini, kehidupan masyarakat Aceh makmur. Dikarenakan dalam bulan tertentu masyarakat dapat mencicipi daging walaupun hanya tiga kali dalam setahun. Masyarakat Aceh sendiri sangat senang dengan tradisi meugang, bisa kita lihat walaupun harga daging melonjak drastis meugang tetap terlaksana tidak ada kata berhenti. Semoga tradisi ini terus berlanjut sampai tidak ada kata berhenti, karena tradisi meugang ini memiliki nilai-nilai religius dan sosial yang tinggi yang tidak terdapat pada tradisi lainnya.



Share:
Location: Pidie, Pidie Regency, Aceh, Indonesia

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Kunjungi Profil Lengkap Saya